Ada Apa di Hari Rebo Wekasan


Rebo Wekasan adalah hari Rabu terakhir di bulan Safar. Ada juga yang menyebutnya Arba Musta’mir atau Rabu pamungkas. Rebo wekasan jatuh pada hari Rabu tanggal 14 Oktober 2020.

Di antara sebagian masyarakat Jawa atau tradisi Arab Jahiliyah terdapat keyakinan bahwa pada hari itu akan turun bala bencana dan sumber penyakit. 

Ternyata di hari itu biasa-biasa saja, tidak ada bencana besar yang terjadi atau tidak ada wabah yang melanda. Lalu bagaimana kita menyikapi akan hal itu? Terlebih sebagian masyarakat kita ada yang melakukan ibadah-ibadah tertentu guna menolak bala dan penyakit, berikut kita lihat landasannya.

Dalam QS. Al-Baqarah : 255,  “… Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya, Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka …”. QS. Hud : 107, “… Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia Kehendaki”. QS. At-Taubah : 116, “ Sesungguhnya Kepunyaan Allahlah kerajaab langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah”.

Dalam hadis Nabi Muhammad Saw juga disebutkan : “Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda : tidak ada penyakit menular, tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar, tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang”. (HR. Bukhari Muslim)

Dari landasan ayat Quran dan hadis di atas bisa kita dipahami bahwa segala sesuatu yang terjadi, baik bencana, bala atau wabah penyakit, semuanya atas izin Allah. Jadi tidak ada keterkaitan dengan anggapan bahwa bulan Safar adalah bulannya bala dan penyakit.

Jika demikian adanya keyakinan kita bahwa bulan safar adalah bulan turunnya bala, maka kita bisa dikatakan membatasi akan kehendak Allah. Bala bencana atau penyakit itu merupakan sepenuhnya hak Allah untuk menurunkannya, apakah Dia menurunkan di bulan Safar atau di bulan apa saja yang Dia kehendaki,

Dari hadis sahih di atas juga jelas sudah bahwa penyakit menular, bulan safar turunnya bala, suara burung sebagai pertanda sial dan lain-lain itu hanya semata-mata suatu tradisi kepercayaan orang dahulu yang tidak mempunyai dasar.

Peristiwa yang terjadi berupa kesialan atau malapetaka hanya kebetulan saja mereka alami di bulan Safar, sehingga itu membekas di benak mereka yang disampaikan kepada anak cucu mereka, lalu berkembang menjadi suatu keyakinan.

Sementara adanya amalan khusus di malam Rebo Wekasan, seperti shalat 2 atau 4 rakaat (shalat awwabin) atau yang dikenal dengan sholat atau doa tolak bala dengan membaca surah tertentu, maka para ulama mengatakan tidak boleh diamalkan secara khusus.

Amaliah Rebo Wekasan hanya merupakan informasi atau himbauan dari ulama sufi (waliyullah) melalui ilham yang menyatakan bahwa pada malam itu akan turun 360.000 bencana dan malapetaka. Untuk menghindari bencana tersebut, maka dianjurkan untuk melaksanakan shalat dan berdoa mohon tolak bala dan memperbanyak bersedekah.

Menurut ulama ushul fikih sebuah ilham tidak dapat menjadi dasar hukum dengan melahirkan suatu wajib, sunnah, makruh, mubah atau haram.

Ilham yang diterima seorang wali tidak boleh diamalkan oleh orang lain (orang awam) sebelum dicocokkan dengan Al-Quran dan hadis. Jika ilham itu tidak bertentangan, maka ilham tersebut benar adanya.

Upaya untuk menghindari dari keyakinan yang tidak ada dasarnya dalam Al-Quran dan hadis maka harus ditinggalkan. Cukuplah bagi kita untuk senantiasa melaksanakan perintah-perintah-Nya yang syar’i saja, seperti melaksanakan shalat 5 waktu, puasa Ramadan dan sunnah, menunaikan zakat atau bersedekah dan lain-lain.

Dengan kita melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya tentu kita berharap bahwa upaya itu dapat mendekatkan kita kepada Allah Swt yang melahirkan Rahmat Allah datang kepada kita, sehingga kita bisa terhindar dari segala macam bala bencana dan penyakit, Allahu ‘alam. (Asdi)

bahan bacaan diambil dari berbagai sumber.

 

 

 

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama