Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan nelayan hiduplah seorang janda yang bernama Maria dan seorang anak laki-lakinya yang bernama Leonardo. Maria sangat menyayangi dan memanjakan Leo. Leo juga merupakan anak yang pandai dan rajin.
Maria sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual roti tawar. Kini hanya Leo yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga. Setiap hari dia bekerja sebagai anak buah kapal nelayan lain. Tidak jarang ia meminjam kapal nelayan lain untuk menangkap sejumlah ikan untuk dijual. Leo pernah jatuh sakit hingga sekarat karena dia selalu pergi berlayar tanpa memperhatikan cuaca. Alhasil, Leo makin disayang dan dimanja oleh ibunya. Suatu hari Leo mempunyai keinginan untuk pergi merantau ke negeri seberang.
“Jangan nak! Biarlah kita hidup seperti ini. Ibu takut terjadi sesuatu kepadamu di negeri jauh sana. Cukup temani ibu saja disini” ucap Ibunya sedih saat mengetahui bahwa anak satu-satunya ingin merantau jauh dari pangkuannya.
“Tapi Ibu, Leo ingin berubah. Leo ingin memperbaiki kehidupan kita” kata Leo sambil menggenggam tangan Ibunya. “Ibu tenang saja! Leo tidak sendirian. Leo pergi dengan Paman Charles. Jadi Leo akan baik-baik saja” jelas Leo untuk menenangkan Ibunya.
“Baiklah nak! Ibu izinkan” kata Ibunya sambil meneteskan air mata. “Cepatlah kembali! Ibu akan menunggumu disini dan ini bekal untukmu. Ibu harap bekal ini dihabiskan nanti” lanjut ibunya sambil menyerahkan bekal perjalanan kepada Leo. “Baik ibu! Leo pasti akan kembali dan membawa banyak uang dan istri yang cantik seperti Ibu” ucap Leo sembari memeluk Ibunya pelukan perpisahan.
Hari-hari terus berlalu, hari yang terlambat bagi Ibu Maria menunggu kepulangan anaknya. Satu hari, dua hari, satu minggu, dua minggu, satu bulan, satu tahun, dan beberapa tahun kemudian Leo belum juga kembali. Ketika ada kapal yang merapat di pelabuhan, Ibu Maria selalu bertanya, “Apakah ada Leo?” namun sayangnya Leo tidak pernah kembali.
Suatu ketika ketika Ibu Maria jatuh sakit saat itu pula ada kapal yang berlabuh. Kapal yang sangat besar dan mewah. Para penduduk bahkan sampai berkumpul karena baru kali ini mereka menyaksikan ada kapal mewah yang merapat di pelabuhan mereka. Ibu Maria yang masih terdapat rindu dalam jiwanya dalam firasatnya dia merasakan bahwa kali ini Leo pasti kembali. Dia keluar dari rumahnya sambil memegang tongkat karena sudah tidak mampu lagi berjalan seperti biasa.
Arak-arakan keluar dari kapal tersebut. Para penyair, para seniman, dan para artis lainnya keluar untuk memeriahkan jalanan. Di belakan mereka berjalan sepasang suami-istri yang tampan dan cantik di mata para penduduk. Wibawa serta keanggunan mereka bahkan sampai membuat para penduduk terhipnotis. Tidak sedikit para suami diomeli istrinya karena terlalu lama melihat wanita tersebut. Padahal para istri juga sama kelakuannya dengan suami mereka.
Tidak lama kemudian arak-arakan itu berhenti tiba-tiba. Penyebabnya tidak lain karena di depan mereka berdiri seorang wanita tua yang sakit-sakitan. “Ada apa ini? Mengapa berhenti?” Tanya sepasang suami-istri itu kepada pengawalnya. “Ada seorang wanita tua yang berhenti di depan rombongan tuan” Jawab pengawal. “Wanita tua? Biar kulihat” kata sang suami sambil turun dari kereta. Dalam raut wajahnya seperti tergambar jelas rindu yang amat dalam. “Aku juga ikut sayang!” Ucap sang istri kepada suaminya. “Tapi kamu belum pernah kesini. Bagaimana jika terjadi sesuatu denganmu sayang?” cemas sang suami. “Tak mengapa wahai suamiku! Sesungguhnya ini adalah tanah kelahiran suamiku. Bagaimana aku harus khawatir?” Jawab mantap sang istri kepada suaminya.
Benar kata sang istri. Ini adalah tanah kelahiran suaminya. Setiap hari dia selalu mendengar suaminya bercerita tentang indahnya kampung halamannya. Tak ayal hal itu membuat sang istri menjadi penasaran bagaimana kampung halaman suaminya yang sebenarnya.
Mereka berdua berjalan menuju depan rombongan. Saat mereka sampai di depan tubuh sang suami menjadi kaku, mata membesar, raut wajahnya menjadi tak karuan, dan keringat bercucuran keluar dari kulitnya. Sang istri pun penasaran “Siapa wanita tua itu wahai suamiku? Apakah engkau mengenalnya?” Sang suami hanya diam. Seolah-olah tak mendengarkan apa yang istrinya lontarkan.
Di saat sama mulut wanita itu bergerak sedikit. Mengeluarkan kata demi kata yang jelas namun tidak terlalu kedengaran. “L... L... Le... Leo! Itukah engkau?” Ibu Maria bertanya kepada laki-laki yang berada di depan penglihatannya. “Itukah engkau Leo? Ini aku Ibum, Ibumu. Kau belum lupa..” Na’as! Sebelum Ibu Maria menyelesaikan kalimatnya ia harus terjatuh karena kakinya sudah tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Ia sudah pasrah jikalau nantinya ia akan terjatuh dengan sangat keras ke tanah. Namun, apa yang ia rasakan bukan kerasnya tanah. Melainkan ia merasakan sedang jatuh dalam kelembutan sebuah pelukan.
“Ya! Ini aku Ibu. Leo kembali” mendengar kalimat itu sudah cukup untuk membuat Ibu Maria menangis tersedu-sedu tanda bahagia. Setelah sekian lama ia menunggu akhirnya putranya kembali. Namun naas, kebahagiaan mungkin tidak lama. Tiba-tiba Ibu Maria batuk darah disusul rasa sakit yang tidak tertahankan. “Ibu! Ada denganmu Ibu? Bertahanlah!” melihat kejadian ini siapa yang tidak khawatir. Setelah bertahun-tahun merantau akhirnya Leo dapat berjumpa dengan Ibunya kembali. Namun disaat bahagia tersebut Tuhan berkehendak lain.
Melihat kondisinya yang tidak lama lagi Ibu Maria sudah membulatkan tekad untuk membuka sebuah rahasia yang ia simpan selama ini. Sambil mengeluarkan sebuah kalung yang selalu ia simpan Ibu Maria berkata, “Nak! Mungkin ini sudah waktu bagi Ibu buat kembali. Mohon denganrkanlah ini!”
“Kembali? Kembali kemana Bu? Sudahlah! Leo disini, Leo kembali. Janganlah Ibu yang kembali” Leo panik saat mendengar kalimat yang dikeluarkan Ibunya. “Terima kalung ini. Sebenarnya aku bukanlah Ibumu. 25 tahun yang lalu aku menemukanmu di depan pintu rumahku dan benda ini berada di dalam keranjang bayimu. Maafkan Ibu nak” Kalung yang indah dengan sebuah liontin di tengahnya. Di dalamnya tergores nama dan tahun “Najm -1571-“
“Maafkan Ibu nak! Maafkan Ibu karena sudah berbohong padamu” air mata jatuh dari wajah Ibu Maria. “Tak usah Ibu minta maaf! Engkau adalah Ibuku! Kau tetap Ibuku” Leo seolah-olah tidak terima dengan fakta yang baru saja ia terima. “Maaf... Maaf... Maaaa...” Itulah kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Ibu Maria. Kini ia telah tiada. Jerit tangis tak terelakkan keluar dari Leo. Setelah sekian lama ia pergi namun kini Ibunya pergi selama-lamanya. Lingkungan sekitar menjadi hening dengan duka diam-diam menyelimuti.
**
Hujan mengguyur mengaburkan tangisan saat pemakaman Ibu Maria. Satu kampung datang untuk mengantarkan Ibu Maria ke tempat peristirahatan terakhirnya. Leo dengan ditemani istrinya terdiam meratapi makam Ibu Maria yang masih basah. “Sudahlah sayang! Janganlah engkau terlalu bersedih. Ibu nanti akan sedih juga di alam sana” kata Elizabeth mencoba menenangkan suaminya.
Leo sudah tidak bisa mendengar suara apa-apa lagi. Telinganya bebal karena duka yang amat dalam. Di saat ia pulang, ia kehilangan tempat berpulang. Sudah tidak ada lagi tujuan. Meskipun kini ia kaya raya namun hatinya terasa hampa. Sekarang ia hanya bisa menatap liontin yang diberikan Ibunya terakhir kali. “Aku akan mencari pemilik liontin ini!”
Posting Komentar