Malu Sebagai Barometer Keimanan Seseorang
Muhamad Asran Dirun
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ
عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ
النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا
شِئْتَ” رَوَاهُ البُخَارِي.
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin
‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui
manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!’. (HR. Bukhari, Ahmad Ibnu Majah).
Dari hadis tersebut
dipahami bahwa malu merupakan etika yang turun temurun diwariskan Nabi kepada
kaumnya. Dalam riwayat lain, Imam Humaid bin Zanjawaih berkata : “Tidaklah satu
kelompok mendapati perkataan Nabinya kecuali mengajarkan etika malu”.
Ibnu Taimiyah dalam
kumpulan artikelnya menulis “Al hayaa (malu) merupakan bentuk kata dari
al-hayaat (hidup), karena sesungguhnya hati yang hidup akan menajamkan rasa
malu bagi pemilknya untuk melakukan perbuatan yang memalukan. Semakin hidup
hati seseorang, maka semakin tebal tabir pelindung hatinya dari hal-hal yang
dapat merusaknya. (makaarimul akhlak:73).
Ibnu Qayyim menyebutkan
hal senada tentang malu, “Gambaran tabiat malu kita merupakan cerminan dari
hidupnya hati”.
Dengan demikian seseorang
yang pada dirinya memiliki malu sedikit, maka merupakan barometer tipisnya iman
orang tersebut, begitu sebaliknya. Sebagaimana hadis Nabi : “Malu adalah bagian
dari iman”. (HR. Muslim dan Trimidzi).
Dalam kehidupan kita sering
melihat orang berpakaian dengan tidak menutup aurat, bahkan ia merasa bangga
dengan memamerkan auratnya di depan orang banyak. Para pejabat begitu mudahnya
merampok uang rakyat dengan jabatan yang dimiliki, pembunuhan terjadi di
mana-mana, seolah-olah dia yang memilki kewenangan atas nyawa seseorang dan
masih banyak contoh lainnya yang terjadi sekarang ini.
Sekiranya ada sedikit rasa
malu pada seseorang, maka peristiwa tersebut di atas tidak akan terjadi. Wanita
harus menyadari bahwa anggota tubuhnya diciptakan bukan untuk dipamerkan kepada
orang banyak, akan tetapi untuk ditutupi agar harkat martabatnya mulia di sisi
Allah Swt.
Seorang pejabat yang
diberi amanah oleh masyarakat/ atasannya harus paham bahwa jabatannya itu harus
digunakan dengan baik guna melayani masyarakat, bukan menyakiti masyarakat. Seorang
pembunuh harus menghargai dan menjaga nyawa seseorang, karena bukan ia yang
menciptakan. Orang yang membunuh nyawa satu orang tanpa alasan syar’i, maka
sama halnya ia membunuh banyak orang.
Sahabat Salman al Farisi
menegaskan dalam satu riwayat Rasulullah, “Sesungguhnya Allah jika menginginkan
kecelakaan bagi seorang hamba, akan dicabutnya rasa malu dari dirinya, dan jika
rasa malu sudah tercabut pada seseorang, maka tidaklah ia menjumpai Allah
kecuali dengan kebencian Allah terhadapnya”.
Ibnu Taimiyah
menganalogikan hilangnya rasa malu pada diri seseorang sama dengan tanah yang
tandus, tiada kehidupan dan tidak dapat diproduktifkan lagi tanah yang seperti
itu.
Orang yang selalu berbuat
maksiat seperti membunuh, memperkosa, berzina, berjudi, minum-minuman keras,
korupsi, berdusta, menggibah, bisa dikatakan hatinya tidak mempunyai rasa malu,
justru yang ada adalah kebencian Allah kepada dirinya.
Kalau Allah sudah benci
kepada seseorang maka segala kebaikan akan sulit ia terima dan kerjakan. Satu-satunya
jalan untuk menghilangkan kebencian Allah kepada kita, tidak lain adalah kita
harus kembali kepada Allah dengan cara bertobat dan menanamkan rasa malu kepada
Allah dan manusia.
Dengan kita menjaga malu,
maka itu adalah suatu kebaikan, Nabi bersabda : “Tidaklah rasa malu itu kecuali
mendatangkan kebaikan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal seperti ini yang harus
kita pupuk, karena dengan memiliki rasa malu, manusia akan mendapatkan
kemuliaan hidup dan kebahagiaan akhirat.
Allah Swt sendiri juga mempunyai
rasa malu, sebagaimana yang dikutip Sayyid Husain dalam Al jazaa Min Jinsil ‘Amali.
Namun tiada kemampuan akal kita untuk memvisualisasikannya rasa malunya Allah.
Dengan kemuliaan yang
dimiliki-Nya, rasa malu Allah terhadap manusia lebih besar daripada malu yang
dimiliki manusia terhadap Tuhannya. Allahu ‘Alam
Posting Komentar